Oleh
Leolistari
(Penulis adalah Alumni Kehutanan Universitas Mataram Tahun Lulusan 2011 dan sejak 2013 melanjutkan Sekolah Pascasarjana di Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering Universitas Mastaram)
Saat ini kita
dihadapi oleh berbagai permasalahan lingkungan yang kian hari kian kompleks.
Dari berbagai permasalahan tersebut yang cukup menjadi sorotan adalah
terganggunya sumberdaya hutan sebagai catchman
area (daerah tangkapan air). Baik yang diakibatkan oleh perambahan hutan,
aktivitas illegal logging, aktivitas penduduk sepanjang bantaran sungai dan
juga kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengurangi pencemaran aliran sungai
dengan tidak membuang sampah. Aktivitas masyarakat yang sedimikian rupa,
diyakini telah turut berkontribusi dalam kerusakan lingkungan terutama DAS
(daerah aliran sungai). Hal ini juga terjadi di hulu DAS Jangkok.
Menurut data dari
Dinas Kehutanan Provinsi NTB laju kerusakan hutan dan lahan di NTB mencapai
angka sekitar 47 persen
dari 1.071.722 hektar luas total kawasan hutan. Kondisi ini telah berpengaruh
nyata pada ketersediaan dan kualitas air. Menurut Laporan WWF (2012) Indeks
Ketersediaan Air (IKA) Pulau Lombok mencapai 110 persen dan masuk dalam
golongan ‘sangat kritis’ dengan kualitas air berada pada kategori tercemar
ringan hingga berat. Kerusakan hutan pun makin diperkuat oleh lemahnya
kapasitas masyarakat dalam hal akses terhadap sumberdaya penghidupan produktif,
seperti : pemilikan lahan yang sempit (rata-rata 0.25 hektar/KK); rendahnya
pendapatan dari usaha tani; dan kurangnya keterampilan berusaha di luar sektor
pertanian. Karena itu, intervensi terhadap sumberdaya hutan menjadi tak
terhindarkan.
Namun
kondisi tersebut ternyata tidak mampu menjawab masalah kemiskinan di daerah
ini. Saat ini saja, terdapat sekitar 40 persen dari penduduk miskin di NTB
(894.770 jiwa) berada di kawasan hutan. Hal ini kemudian berdampak pada tingginya
ketergantungan masyarakat miskin terhadap kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan pada gilirannya akan menurunkan potensi sumberdaya hayati
(Konsepsi, 2013).
DAS Jangkok pada kondisi
existing debit sungai sebesar 200,32 juta m3 dengan jumlah penduduk
108.606 jiwa, maka IKA sebesar 1.884 m3/kapita/tahun (kurang). Dengan
laju pertumbuhan penduduk 1,8%/tahun maka jumlah penduduk pada tahun 2020 akan
mencapai 136.954 jiwa. Sehingga apabila debit sungai eksisting tetap sebesar
200,32 juta m3 maka IKA pada tahun 2020 mencapai 1.463 m3/kapita/tahun
(kurang) (WWF, 2008).
Melihat kondisi
diatas, maka diperlukan upaya serius untuk meningkatkan debit sungai pada
kondisi luasan hutan optimal. Tentunya dengan kualitas dan kontiyuitas dalam
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan kondisi
diatas, maka penting untuk melakukan kajian untuk memotret pengelolaan DAS di
hulu DAS Jangkok terutama oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan Sesaot
yang merupakan hulu dari DAS ini.
Alur untuk menggambarkan kondisi hulu DAS Jangkok secara
terstruktur, berdasarkan isu terkini DAS di Provinsi NTB idelanya adalah
seperti gambar di bawah ini:
Tulisan ini berdasarkan gambar diatas
hanya mengulas mengenai kondisi hulu DAS Jangkok di lihat peranannya sebagai
daerah tangkapan mengingat keterbatasan waktu sehingga bagi pembaca yang
tertarik untuk lebih mendalami isu ini sangat dianjurkan.
Kita ketahui bersama, bahwa hulu DAS
Jangkok merupakan kawasan hutan lindung Sesaot yang memiliki luas mencapai
5.950 hektar, terletak di bagian barat (barat daya) Gunung Rinjani dan
merupakan daerah tangkapan air dari DAS ini. Kawasan ini mempunyai fungsi
Hidrologi dan air permukaan yang ada sangat penting bagi masyarakat Lombok
Barat dan Lombok Tengah bagian selatan, terlebih Kota Mataram. Baik untuk
kebutuhan irigasi dan rumah tangga. Lebih dari 44 mata air dapat dijumpai di
hutan lindung Sesaot yang mengalir pada
beberapa sungai (Kali Jangkok, Eat
Kumbi, Kali Timbesar, Kali Sesaot, Kali Betuang dan Kali Binsua)
hingga mengalir pada tiga sungai besar ke bagian hilir. Beberapa mata air besar
yang menjadi sumber kehidupan adalah Ranget, Pengkukun, Sesaot,
Aik Nyet, Pengkoak dan Orong Petung.
Kondisi
umum vegetasi hutan lindung Sesaot, khusunya pada areal hutan buatan sebagian
besar sudah ditumbuhi dengan tanaman Kopi yang hasilnya dimanfaatkan oleh
masyarakat. Penduduk yang tinggal di sekitar kawasan lindung Sesaot cukup besar
dan terbesar di 4 desa (Sedau, Lebah Sempaga,, Sesaot dan Batu Kumbung). Dari
empat Desa, ada 12 Dusun yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung
dan jumlah penduduknya kurang lebih mencapai 3.957 KK.
Laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terbatasnya lahan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Akan
menyebabkan tekanan terhadap sumber daya hutan lindung Sesaot, terutama hasil
hutan kayu. Khususnya komoditi kayu
bakar, sudah 35 tahun masyarakat memanfaatkan
untuk tujuan kebutuhan rumah tangga dan perdagangan. Hasil bersama
masyarakat Sesaot, menghasilkan data bahwa
jumlah kayu bakar yang diambil dari kawasan hutan lindung Sesaot
mencapai 25 m2 setiap harinya (LP3ES, 1997 dalam Takwim dan Tuarita,
2012).. Di tahun 2007, sehari 50 m3 kayu illegal keluar dari hutan Sesaot. Angka tersebut semakin besar jika menghitung
kayu balok yang ditebang dan berlangsung secara illegal di hitung. Keadaan
tersebut dalam konteks pemanfaatan hutan lindung Sesaot yang tidak terkendali,
pada akhirnya memberikan impilakasi terhadap masalah kelestarian fungsi hutan
lindung Sesaot dan sumberdaya air, baik masa sekarang dan akan datang
Saat ini, seluruh lahan didalam kawasan hutan lindung Sesaot yang sudah
dimanfaatkan masyarakat (73%) sejak tahun 1951-2013 yang luasnya mencapai 3.672
ha. Artinya yang masih tersisa kurang dari 50%
dari total luasan hutan Sesaot. Sehingga diperlukan upaya optimal agar
kepentingan
hidrologi, keanekaragaman hayati dan konservasi
dapat terjamin. Tanggung jawab pelestarian secara menyeluruh melalui pendekatan kawasan harus juga diakomodir. Karena faktanya masih, banyak lahan hutan yang dibuka secara
illegal dan sulit dikontrol baik oleh kelompok pengelola hutan maupun Dinas Kehutanan.
Hal
ini telah berdampak pada banyaknya permasalahan yang timbul. Antara lain penurunan
debit air sungai dari 1,92 m3/detik pada
tahun 1998 menjadi 0,95 m3/detik
di tahun 2007 atau sekitar 5.6%/tahun. Menurut laporan WWF (2008) kerusakan penutupan
lahan telah mempengaruhi
peningkatan aliran air permukaan tahunan (8,7%/tahun) dengan tingkat polusi sedang hingga parah dari polutan
industri dan rumah tangga, limbah pertanian dan perikanan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
ketersediaan air (-1,178.45 Mm3/tahun) di Lombok.
Untuk
dapat menjawab permasalahan DAS Jangkok di bagian hulu maka beberapa
upaya-upaya nyata yang dapat dilakukan adalah dengan (1) Meningkatkan penghidupan
masyarakat, khususnya di wilayah hulu
(2) Akses masyarakat terhadap pengelolaan lahan di wilayah kawasan hutan
lindung (3) Alternatif energi
(bahan bakar) untuk rumah tangga dan industri rumah tangga (4) Perbaikan mekanisme jasa lingkungan
untuk mendukung masyarakat dalam pengelolaan hutan dan DAS (5) Perlu diupayakan pengelolaan DAS secara terpadu.
Dari tulisan ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
(1) Diindikasikan telah terjadi
kerusakan di hulu DAS Jangkok yang dapat mengganggu fungsi hidrologi dan
kelestarian hutan.
(2) Tekanan masyarakat terhadap
keberadaan hutan di hulu DAS Jangkok sulit untuk dihindari sehingga diperlukan
kebijakan yang dapat mengakomodir masyarakat.
(3) Di perlukan upaya-upaya nyata
semua pihak dalam mempertahankan fungsi DAS baik untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Konsepsi. 2013. Studi Kelembagaan HKm di
Kawasan Hutan Lindung Batukliang Utara- Kabupaten Lombok Tengah. Konsepsi
bekerjasama dengan KOICA.
Takwim, A., Turita, A. 2012.
Profil Hutan Kemasyarakatan Sesaot dan Santong. Konsepsi. NTB
WWF. 2008. Studi Analisis
Hidrologis dan Perubahan Tutupan Lahan (land use land cover change) Kawasan
Gunung Rinjani, Lombok. WWF bekerjasama dengan Pemda NTB, BPK Mataram, BPDAS
Dodokan Moyosari.
0 komentar:
Posting Komentar